JAKARTA – Pemilihan serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024, dibutuhkan peran publik bukan hanya dalam peningkatan partisipasinya dalam masa pencoblosan, namun juga keterlibatan publik melalui pengawasan partisipatifnya.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Rasminto saat menjadi pembicara Pendidikan Pengawasan Partisipatif yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya di Hotel Alhambra, Sabtu (07/09/2024).
“Pengawasan partisipatif publik menjadi penting agar pada setiap fase tahapan Pilkada dapat berjalan dengan meminimalisasi kecurangan dan pelanggaran yang berdampak pada kualitas Pilkada serentak itu sendiri,” katanya.
Akademisi pada Prodi Geografi Universitas Islam 45 (UNISMA) ini juga menekankan pentingnya analisis dan advokasi sosial dalam pengawasan partisipatif.
“Analisis dan advokasi sosial dalam program pendidikan pengawas partisipatif menjadi semakin penting, terlebih pesertanya merupakan siswa SMA dan sederajat yang masuk dalam kategori pemilih pemula. Melalui analisis sosial, para siswa ini dapat memahami kompleksitas dinamika politik dan sosial di sekitar mereka,” jelasnya.
Menurutnya, bagi pemilih pemula sangat urgent terkait pemahaman analisis dan advokasi sosial dapat membangun proses demokrasi.
“Pemahaman ini sangat urgent, agar para pemilih pemula dapat terlibat secara aktif dan kritis dalam proses demokrasi, bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai pengawas yang berperan dalam menjaga integritas pemilu,” katanya.
Lanjutnya menjelaskan sistem demokrasi kita memungkinkan perlakuan sama dalam proses pemilihan, sehingga perlu penguatan kesadaran publik.
“Apalagi sistem demokrasi kita memungkinkan ‘one man, one vote’ artinya suara semua orang diperlakukan sama dalam pemilihan, maka perlu penguatan kesadaran politik berkelanjutan,” tandasnya.
Ia pun menegaskan penguatan keterlibatan publik dalam advokasi sosial.
“Advokasi sosial akan memberikan landasan bagi publik, khususnya para siswa sebagai pemilih pemula untuk memperjuangkan pemilu yang adil dan bersih,” tegasnya.
Ia memandang pemilih pemula sebagai target yang berpotensi dalam manipulasi politik praktis.
“Terlebih, pemilih pemula inj berpotensi menjadi target berbagai bentuk manipulasi politik. Namun, dengan keterampilan advokasi yang diperoleh, mereka tidak hanya mampu melindungi hak pilih mereka sendiri, tetapi juga membantu teman-teman sebaya dan komunitasnya dalam memahami pentingnya partisipasi yang jujur dalam pilkada,” tandasnya.
Selain itu, menurutnya program ini membantu meningkatkan kesadaran kritis para siswa terhadap isu-isu pemilu yang rentan akan pelanggaran.
“Melalui analisis sosial, pemilih pemula menjadi lebih peka terhadap ancaman politik uang, penyebaran hoaks, dan pelanggaran lainnya. Kesadaran ini akan membentuk generasi muda yang lebih bertanggung jawab dan berkomitmen untuk mewujudkan pilkada yang bersih dan demokratis,” jelasnya.
Ia berharap Bawaslu dapat lebih memasalkan dan memperkuat program pendidikan pengawasan partisipatif yang lebih masif di kalangan generasi muda.
“Publik berharap keterlibatan generasi muda dalam program ini dapat lebih ditingkatkan secara kuantitas maupun kualitas, sebab pengawas partisipatif pada generasi muda juga memperkuat kolaborasi antarindividu di sekolah dan komunitas sekitar. Keterlibatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman mereka, tetapi juga menciptakan efek domino dalam memperluas pengawasan pemilu hingga ke akar rumput,” harapnya.