Oleh: Omis, Berprofesi sebagai Petani lebih dari 50 tahun
Sawah itu yang dulu menjadi tumpuan hidup keluarga kini tak lagi berwujud ladang subur, melainkan deretan rumah-rumah yang tampak megah di atas tanah yang pernah ku garap. Pemandangan hamparan hijau yang pernah mendamaikan hati berganti menjadi aspal dan beton, menutupi setiap jengkal tanah yang dahulu penuh berkah.
Hujan yang dulu membawa kesuburan, kini hanya membawa banjir yang kian sering melanda. Air tak lagi meresap ke tanah, seolah bumi menolak untuk menerima yang dulu dianggap sebagai sumber kehidupan. Perubahan ini membuat kehidupan semakin sulit, dan aku sering bertanya dalam hati, bagaimana nasib anak cucuku kelak?
Dengan sawah yang hilang, pekerjaan juga kian sukar ditemukan. Dulu, kami bisa bertahan dari hasil tani yang meski sederhana, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kini, dengan sawah yang berubah menjadi perumahan, lahan pekerjaan seakan semakin menyempit. Banyak di antara kami yang kehilangan pekerjaan, dan tak sedikit pula yang akhirnya menjadi pengangguran. Di tengah kondisi ini, kekhawatiran terus mengusik pikiranku. Apa yang akan terjadi di masa depan, ketika lapangan pekerjaan semakin sulit dicari?
Anak-anak dan cucu-cucuku kini tumbuh di dunia yang sangat berbeda dari yang pernah ku kenal. Mereka tak lagi merasakan hangatnya tanah sawah di bawah kaki, atau melihat padi yang tumbuh menguning. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan mereka makan di masa depan, jika tak ada lagi sawah untuk ditanami. Beras yang dulu kami hasilkan sendiri, mungkin kelak harus dibeli dengan harga yang kian melambung tinggi, jika masih ada yang mampu menghasilkannya. Ketergantungan pada pabrik dan supermarket semakin terasa, menggantikan kemandirian yang dulu kami miliki sebagai petani.
Namun, dalam perubahan ini, aku juga diingatkan pada pentingnya adaptasi dan pendidikan. Aku berharap anak cucuku bisa belajar untuk menghadapi tantangan zaman dengan caranya sendiri, mungkin bukan lagi sebagai petani, tapi sebagai orang yang memahami pentingnya alam dan menjaga keberlanjutannya. Jika mereka mampu memanfaatkan ilmu dan teknologi dengan bijak, mungkin mereka bisa menemukan cara baru untuk menjaga alam dan tetap hidup dari tanah, meski tak lagi dalam bentuk sawah seperti yang aku kenal.
Aku hanya bisa berharap, di tengah gempuran modernisasi, mereka tetap bisa mempertahankan nilai-nilai yang kami wariskan, termasuk rasa syukur dan kerja keras.
Dalam setiap akhir cerita ada harapan, meskipun kadang terselip di antara kekhawatiran. Meskipun sawah telah berubah menjadi perumahan, dan pekerjaan semakin sulit, aku berharap anak cucuku bisa menemukan jalannya sendiri. Mereka harus belajar bahwa perubahan adalah bagian dari hidup, namun adaptasi yang bijak dan menjaga keseimbangan dengan alam adalah kunci untuk bisa tetap bertahan. Dengan fondasi yang kuat dan semangat yang tak pernah padam, mereka bisa menghadapi masa depan, meski tanpa sawah, namun dengan cara yang tetap menjaga warisan leluhurku, demi bumi yang lestari, demi kehidupan yang berkelanjutan dan demi rasa syukur pada ilahi.